Sejarah atau Asal Usul Masyarakat Bakumpai
SUKU DAYAK BAKUMPAI
Suku Dayak Bakumpai adalah salah satu subetnis Dayak Ngaju yang
beragama Islam. Suku Bakumpai terutama mendiami sepanjang tepian daerah aliran sungai
Barito di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah yaitu dari kota Marabahan,
sampai kota Puruk Cahu, Murung Raya.
Kota-kota utama Dayak
Bakumpai yakni:
A.
Marabahan,
Barito Kuala,
B.
Muara Teweh,
Barito Utara,
C.
Buntok,
Barito Selatan,dan
D.
Puruk cahu,
Murung Raya.
Suku Bakumpai berasal bagian hulu dari
bekas Distrik Bakumpai sedangkan di bagian hilirnya adalah pemukiman orang
Barangas (Baraki). Sebelah utara (hulu) dari wilayah bekas Distrik Bakumpai
adalah wilayah Distrik Mangkatip (Mengkatib) merupakan pemukiman suku Dayak
Bara Dia atau Suku Dayak Mangkatip. Suku Bakumpai maupun suku Mangkatip
merupakan keturunan suku Dayak Ngaju dari Tanah Dayak.
Suku Bakumpai banyak mendapat pengaruh
bahasa, budaya, hukum adat, dan arsitektur Banjar, karena itu suku Bakumpai
secara budaya dan hukum adat termasuk ke dalam golongan budaya Banjar, namun
secara bahasa, suku Bakumpai memiliki kedekatan dengan bahasa Ngaju.
A. Asal
Usul Dayak Bakumpai
Berdasarkan cerita rakyat mengenai asal usul
orang Bakumpai rakyat pun menunjukkan hal yang sama.
Dahulu kala, sungai Barito dari Muara Pulau
sampai ke sebelah hilir Ujung Panti itu tidak ada. Waktu itu sungai Barito yang
ada hanya Muara Pulau terus ke hulu sana. Dari Muara Pulau itu kalau orang
hendak ke Banjar atau orang Banjar hendak ke Barito terpaksa belok ke sungai
Kahayan, yang hanya satu-satunya lalu lintas air Banjar – Barito.
Pada waktu itu hulu Sungai Barito sana ada
sebuah kampung yang bernama Air Manitis, yang didiami oleh suku bangsa Dusun
Biaju. Suku itu diperintah oleh seorang kepala suku yang mempunyai dua orang
anak kembar kemanikan (laki-laki dan perempuan). Anak yang tua laki-lakai
namanya Patih Bahandang Balau. Ia diberi nama demikian, karena rambutnya
(balau) merah (bahandang) seperti rambut orang Belanda, sedangkan nama Patih
itu bukan nama jabatan akan tetapi memang namanya. Anaknya yang kecil perempuan
yang diberi nama Datu Sadurung Malan. Ia dinamakan demikian karena kelihatannya
ia seperti memakai kerudung (tutup kepala) yang biasanya dipakai oleh perempuan
yang sedang bertani (malan), sedangkan nama Datu bukan datu yang berarti orang
tertua dari nenek, tetapi memang namanya demikian.
Datu Sadurung Malan sangat cantik parasnya,
sehingga banyak pemuda yang ingin memperistrinya. Karena parasnya sangat cantik
sehingga kakaknya jatuh cinta padanya. Pernah sekali ia bersama berada di
sawah, pada waktu itu kakaknya mengatakan bahwa ia ingin memperistrinya. Tentu
saja Datu Sadurung Malan tidak akan mau kawin dengan kakaknya sendiri. Setelah
kejadian itu Datu Sadurung Malan tidak lagi pergi ke sawah bersama kakaknya,
kecuali kalau ada ayahnya, baru ia berani.
Hari terus berjalan, Patih Bahandang Balau
makin bertambah keinginannya untuk memperistrikan adiknya. Orang tua mereka
tidak mengetahui persoalan mereka berdua. Tidak kuat menahan hatinya lagi, maka
Pathi Bahandang Balau mengancam hendak membunuh adaiknya kalau ia tidak mau
kawin dengannya. Mendengar ancaman kakaknya itu, Datu Sadurung Malan berfikir
hendak pergi jauh. Waktu tengah malam ketika kakak dan ayahnya sedang tidur, ia
pergi ke luar rumah dan terus turun ke sungai masuk ke dalam perahunya. Sesudah
tali sampannya lepas, dikayuhnya sampannya perlahan. Hatinya terasa lega ketika
ia telah jauh dari rumah. Dengan perasaan hati yang lega dipercepatnya
kayuhannya, dan bermaksud hendak ke Banjar dan terus ke Jawa.
Sampai di Muara Pulau, ia tidak mau belok ke
sungai Kahayan, karena ia takut kalau dikejar-kejar kakaknya. Dibuatnyalah
jalanan sendiri. Ditariknya sampannya sehingga terbentuk sungai kecil. Pada
mulanya memang belum ada airnya, tetapi lama kelamaan berair juga karena hujan,
hingga akhirnya terbentuk sungai yang banyak dilalui orang. Demikianlah sungai
itu bertambah lama bertambah besar dan sampai sekarang dinamai orang Sungai
Barito.
Setelah Datu Sadurung Malan sampai ke Banjar,
kemudian ia menumpang kapal yang menuju ke pulau Jawa, sedangkan kakaknya Patih
Bahandang Balau, sesudah mengetahui adiknya tidak lagi di rumah dan mulai
menginsafi dirinya. Untuk menghibur hatinya yang sakit ia beristri dengan
seorang perempuan di kampungnya, sampai beranak cucu. Anak cucunya sampai saat ini
masih ada yang sekarang menjadi orang Barito atau orang Dusun Biaju.
Setelah Datu Sadurung Malan mendengar
kakaknya sudah mempunyai istri, ia kembali ke Kalimantan. Sebelumnya ia sudah
bersuami dan beranak cucu. Anak cucunya hendak dibawanya ke Air Manitis
kembali. Ia heran melihat bekas jalannya dahulu ramai menjadi lalu lintas
orang. Ia hendak mendirikan rumah di situn, kemudian ia menaruh ayam jantan ke
arah matahati terbit, tetapi ayam itu tidak mau berkokok. Sesudah dihadapkan ke
arah seberangnya, ayam itu mau berkokok, ia mempercayai bahwa itulah tandanya
kalau tanah disitu baik untuk dibangun rumah. Dibuatnyalah rumah di sana,
sampai akhirnya banyak orang tinggal di situ. Sampai sekarang kampung itu masih
ada yang sekarang dinamai Kampung Bakumpai atau Kota Marabahan sekarang.
Seperti itulah asal usul terjadinya sungai
Barito, kampung Bakumpai dan kampung orang Dusun. (Ibrahim, dkk, 1979:98-99)
Kisah tentang
Patih Bahandang Balau ini nampaknya menceritakan beberapa hal, yakni:
1.
Asal usul
orang Bakumpai,
2.
Larangan
insest dalam suku bangsa Dayak, yakni larinya Datu Sadurung Malan yang tidak
mau diperistrikan oleh kakaknya,
3.
Asal mula
kejadian sungai Barito,
4.
Tempat asal
usul orang Bakumpai, yakni Kampung Bakumpai di Kota Marabahan sebagai ibukota
Kabupaten Barito Kuala, dan
5.
Hubungan
persaudaraan antara Dayak Bakumpai dan Dayak Dusun Biaju.
Kalau
ditanyakan kepada orang Bakumpai, asal-usul nenek moyang mereka dan tempat
asalnya, mereka pada umumnya mengatakan berasal dari Marabahan, tepatnya dari
salah satu kampung di kota Marabahan sekarang ini, yang dulu disebut lebu
Bakumpai ‘kampung Bakumpai’. Ada yang mengatakan bahwa kampung itu ialah
kampung Bagus sekarang ini. Nama Bakumpai ini diabadikan, yang meliputi wilayah
kota Marabahan dan sekitarnya. (Ibrahim, dkk, 1979:2) [6]
B. Silsilah
Dayak Bakumpai[sunting | sunting sumber]
Menurut Tjilik Riwut, Suku Dayak Bakumpai merupakan
suku kekeluargaan yang termasuk golongan suku (kecil) Dayak Ngaju. Suku Dayak
Ngaju merupakan salah satu dari 4 suku kecil bagian dari suku besar (rumpun)
yang juga dinamakan Dayak Ngaju (Ot Danum).
Mungkin adapula yang menamakan rumpun suku
ini dengan nama rumpun Dayak Ot Danum. Penamaan ini juga dapat dipakai, sebab
menurut Tjilik Riwut, suku Dayak Ngaju merupakan keturunan dari Dayak Ot Danum
yang tinggal atau berasal dari hulu sungai-sungai yang terdapat di kawasan ini,
tetapi sudah mengalami perubahan bahasa. Jadi suku Ot Danum merupakan induk
suku, tetapi suku Dayak Ngaju merupakan suku yang dominan di kawasan ini.
Suku Dayak (suku
asal), terbagi suku besar (rumpun):
a.
Dayak Laut
(Iban)
b.
Dayak Darat
c.
Dayak Apo
Kayan / Kenyah-Bahau
d.
Dayak Murut
e.
Dayak Ngaju
/ Ot Danum, terbagi 4 suku kecil:
1)
Dayak
Maanyan
2) Dayak Lawangan
3) Dayak Dusun
4) Dayak Ngaju, terbagi beberapa suku kekeluargaan :
a)
Dayak
Bakumpai
b) dan lain-lain
Perbandingan hubungan suku Bakumpai dengan
suku Dayak Ngaju, seperti hubungan suku Tengger dengan suku Jawa. Suku Dayak
Ngaju merupakan suku induk bagi suku Bakumpai.
C. Populasi
Suku Bangsa Bakumpai
Menurut situs "Joshua Project" Suku
Bakumpai berjumlah 41.000 jiwa. Populasi Suku Bakumpai di Kalimantan Selatan
pada sensus penduduk tahun 2000 oleh Badan Pusat Statistik berjumlah 20.609
jiwa. Di Kalimantan Selatan, suku Bakumpai terbanyak terdapat di kabupaten
Barito Kuala sejumlah 18.892 jiwa (tahun 2000).
Berdasarkan sensus
penduduk tahun 2000 oleh Badan Pusat Statistik (BPS), populasi suku Bakumpai di
Kalimantan Selatan berjumlah 20.609 jiwa, yang terdistribusi pada beberapa
kabupaten dan kota, yaitu :
1.
32 jiwa di
kabupaten Tanah Laut
2.
397 jiwa di
kabupaten Kota Baru (termasuk Tanah Bumbu)
3.
34 jiwa di
kabupaten Banjar
4.
18.892 jiwa
di kabupaten Barito Kuala
5.
12 jiwa di
kabupaten Tapin
6.
3 jiwa di
kabupaten Hulu Sungai Selatan
7.
23 jiwa di
kabupaten Hulu Sungai Tengah
8.
42 jiwa di
kabupaten Hulu Sungai Utara (termasuk Balangan)
9.
41 jiwa di
kabupaten Tabalong
10. 1.048 jiwa di kota Banjarmasin
11. 85 jiwa di kota Banjarbaru
Secara keseluruhan populasi Suku Bakumpai
diperkirakan sebagai berikut :
1.
20.609 jiwa
di Provinsi Kalimantan Selatan (BPS - sensus th. 2000)
2.
135.297 jiwa
di Provinsi Kalimantan Tengah
3.
1.000 jiwa
di Provinsi Kalimantan Timur (Long Iram, Kutai Barat)
D. Agama /
Kepercayaan
Pada masa sekarang, hampir seluruh masyarakat
Dayak Bakumpai beragama Islam sedangkan yang beragama Kristen hampir tidak ada
dan relatif sudah tidak nampak religi suku, seperti pada kebanyakan suku Dayak
(Kaharingan) lainnya. Upacara adat yang berkaitan dengan sisa-sisa kepercayaan
lama, yakni ritual "Badewa" dan "Manyanggar Lebu". Suku
Bakumpai memeluk agama Islam diperkirakan pada akhir Abad ke-16 tepatnya pada
tahun 1688 Masehi. Pengaruh ajaran Islam terlihat hampir di setiap aspek kehidupan
masyarakat Bakumpai, seperti : sistem kemasyarakatan, kekerabatan, gaya hidup,
bahkan dalam unsur kesenian. Daerah Marabahan, merupakan pusat kediaman suku
Bakumpai, yang telah banyak menghasilkan ulama-ulama besar yang menyebarkan
agama Islam sampai ke hulu Sungai Barito.
E. Etimologis
Secara etimologis, bakumpai adalah julukan bagi
suku dayak yang mendiami daerah aliran sungai barito. bakumpai berasal dari
kata ba (dalam bahasa banjar) yang artinya memiliki dan kumpai yang artinya
adalah rumput. Dari julukan ini, dapat dipahami bahwa suku ini mendiami wilayah
yang memiliki banyak rumput. menurut legenda, bahwa asal muasal Suku Dayak
Bakumpai adalah dari Suku Dayak Ngaju yang akhirnya berhijrah ke negeri yang
sekarang disebut dengan negeri Marabahan.
Pada mulanya mereka menganut agama nenek
moyang yaitu kaharingan, hal ini dapat dilihat dari peninggalan budaya yang
sama seperti Suku Dayak lainnya, seperti (Batatenga|bubur bahandang),
mempercayai adanya nilai magis pada beras kuning (Behas Bahenda), mempercayai
bahwa burung elang (burung antang) dapat membawa sebuah berita kematian,
kekuatan rohani/batin disebut dengan istilah (batekang hambaruan), dan adanya
tradisi (tampung tawar).
kemudian, pada
suatu hari mereka menjumpai akan wilayah itu seseorang yang memiliki
kharismatik, yang apabila dia berdiri di suatu tanah, maka tanah itu akan
ditumbuhi rumput. Orang tersebut tidak lain adalah Nabiyullah Khidir as.
Di dalam cerita mereka kemudian masuk agama
Islam dan berkembang biaklah mereka menjadi suatu suku. suku bakumpai adalah
julukan bagi mereka, karena apabila mereka belajar agama di suatu daerah dengan
gurunya khidir, maka tumbuhlah rumput dari daratan tersebut, sehingga kemudian
mereka dikenal dengan suku bangsa bakumpai.
Suku Dayak Bakumpai dahulunya memiliki suatu
kerajaan yang lebih tua dibandingkan dengan kerajaan daerah Banjar, akan tetapi
karena daya magis yang luar biasa akhirnya kerajaan ini berpindah ke Sungai
Barito dan rajanya dikenal dengan nama Datuk Barito.
Dari daerah Marabahan ini kemudian mereka
menyebar ke hulu Sungai Barito.
Dari cerita
rakyat, bahwa ada suatu daerah di Kabupaten Murung Raya yaitu Muara Untu pada
mulanya hanyalah suatu hutan belantara yang dikuasai oleh bangsa Jin bernama
Untu. Kemudian ada dari Suku Bakumpai yang hijrah kesana dan mendiami daerah
tersebut yang bernama Raghuy. sampai sekarang jika ditinjau dari silsilah orang
yang mendiami muara untu, mereka menamakan moyang mereka Raghuy.
Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak_Bakumpai
SUKU DAYAK BAKUMPAI
Suku Dayak Bakumpai adalah salah satu subetnis Dayak Ngaju yang
beragama Islam. Suku Bakumpai terutama mendiami sepanjang tepian daerah aliran sungai
Barito di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah yaitu dari kota Marabahan,
sampai kota Puruk Cahu, Murung Raya.
Kota-kota utama Dayak
Bakumpai yakni:
A.
Marabahan,
Barito Kuala,
B.
Muara Teweh,
Barito Utara,
C.
Buntok,
Barito Selatan,dan
D.
Puruk cahu,
Murung Raya.
Suku Bakumpai berasal bagian hulu dari
bekas Distrik Bakumpai sedangkan di bagian hilirnya adalah pemukiman orang
Barangas (Baraki). Sebelah utara (hulu) dari wilayah bekas Distrik Bakumpai
adalah wilayah Distrik Mangkatip (Mengkatib) merupakan pemukiman suku Dayak
Bara Dia atau Suku Dayak Mangkatip. Suku Bakumpai maupun suku Mangkatip
merupakan keturunan suku Dayak Ngaju dari Tanah Dayak.
Suku Bakumpai banyak mendapat pengaruh
bahasa, budaya, hukum adat, dan arsitektur Banjar, karena itu suku Bakumpai
secara budaya dan hukum adat termasuk ke dalam golongan budaya Banjar, namun
secara bahasa, suku Bakumpai memiliki kedekatan dengan bahasa Ngaju.
A. Asal
Usul Dayak Bakumpai
Berdasarkan cerita rakyat mengenai asal usul
orang Bakumpai rakyat pun menunjukkan hal yang sama.
Dahulu kala, sungai Barito dari Muara Pulau
sampai ke sebelah hilir Ujung Panti itu tidak ada. Waktu itu sungai Barito yang
ada hanya Muara Pulau terus ke hulu sana. Dari Muara Pulau itu kalau orang
hendak ke Banjar atau orang Banjar hendak ke Barito terpaksa belok ke sungai
Kahayan, yang hanya satu-satunya lalu lintas air Banjar – Barito.
Pada waktu itu hulu Sungai Barito sana ada
sebuah kampung yang bernama Air Manitis, yang didiami oleh suku bangsa Dusun
Biaju. Suku itu diperintah oleh seorang kepala suku yang mempunyai dua orang
anak kembar kemanikan (laki-laki dan perempuan). Anak yang tua laki-lakai
namanya Patih Bahandang Balau. Ia diberi nama demikian, karena rambutnya
(balau) merah (bahandang) seperti rambut orang Belanda, sedangkan nama Patih
itu bukan nama jabatan akan tetapi memang namanya. Anaknya yang kecil perempuan
yang diberi nama Datu Sadurung Malan. Ia dinamakan demikian karena kelihatannya
ia seperti memakai kerudung (tutup kepala) yang biasanya dipakai oleh perempuan
yang sedang bertani (malan), sedangkan nama Datu bukan datu yang berarti orang
tertua dari nenek, tetapi memang namanya demikian.
Datu Sadurung Malan sangat cantik parasnya,
sehingga banyak pemuda yang ingin memperistrinya. Karena parasnya sangat cantik
sehingga kakaknya jatuh cinta padanya. Pernah sekali ia bersama berada di
sawah, pada waktu itu kakaknya mengatakan bahwa ia ingin memperistrinya. Tentu
saja Datu Sadurung Malan tidak akan mau kawin dengan kakaknya sendiri. Setelah
kejadian itu Datu Sadurung Malan tidak lagi pergi ke sawah bersama kakaknya,
kecuali kalau ada ayahnya, baru ia berani.
Hari terus berjalan, Patih Bahandang Balau
makin bertambah keinginannya untuk memperistrikan adiknya. Orang tua mereka
tidak mengetahui persoalan mereka berdua. Tidak kuat menahan hatinya lagi, maka
Pathi Bahandang Balau mengancam hendak membunuh adaiknya kalau ia tidak mau
kawin dengannya. Mendengar ancaman kakaknya itu, Datu Sadurung Malan berfikir
hendak pergi jauh. Waktu tengah malam ketika kakak dan ayahnya sedang tidur, ia
pergi ke luar rumah dan terus turun ke sungai masuk ke dalam perahunya. Sesudah
tali sampannya lepas, dikayuhnya sampannya perlahan. Hatinya terasa lega ketika
ia telah jauh dari rumah. Dengan perasaan hati yang lega dipercepatnya
kayuhannya, dan bermaksud hendak ke Banjar dan terus ke Jawa.
Sampai di Muara Pulau, ia tidak mau belok ke
sungai Kahayan, karena ia takut kalau dikejar-kejar kakaknya. Dibuatnyalah
jalanan sendiri. Ditariknya sampannya sehingga terbentuk sungai kecil. Pada
mulanya memang belum ada airnya, tetapi lama kelamaan berair juga karena hujan,
hingga akhirnya terbentuk sungai yang banyak dilalui orang. Demikianlah sungai
itu bertambah lama bertambah besar dan sampai sekarang dinamai orang Sungai
Barito.
Setelah Datu Sadurung Malan sampai ke Banjar,
kemudian ia menumpang kapal yang menuju ke pulau Jawa, sedangkan kakaknya Patih
Bahandang Balau, sesudah mengetahui adiknya tidak lagi di rumah dan mulai
menginsafi dirinya. Untuk menghibur hatinya yang sakit ia beristri dengan
seorang perempuan di kampungnya, sampai beranak cucu. Anak cucunya sampai saat ini
masih ada yang sekarang menjadi orang Barito atau orang Dusun Biaju.
Setelah Datu Sadurung Malan mendengar
kakaknya sudah mempunyai istri, ia kembali ke Kalimantan. Sebelumnya ia sudah
bersuami dan beranak cucu. Anak cucunya hendak dibawanya ke Air Manitis
kembali. Ia heran melihat bekas jalannya dahulu ramai menjadi lalu lintas
orang. Ia hendak mendirikan rumah di situn, kemudian ia menaruh ayam jantan ke
arah matahati terbit, tetapi ayam itu tidak mau berkokok. Sesudah dihadapkan ke
arah seberangnya, ayam itu mau berkokok, ia mempercayai bahwa itulah tandanya
kalau tanah disitu baik untuk dibangun rumah. Dibuatnyalah rumah di sana,
sampai akhirnya banyak orang tinggal di situ. Sampai sekarang kampung itu masih
ada yang sekarang dinamai Kampung Bakumpai atau Kota Marabahan sekarang.
Seperti itulah asal usul terjadinya sungai
Barito, kampung Bakumpai dan kampung orang Dusun. (Ibrahim, dkk, 1979:98-99)
Kisah tentang
Patih Bahandang Balau ini nampaknya menceritakan beberapa hal, yakni:
1.
Asal usul
orang Bakumpai,
2.
Larangan
insest dalam suku bangsa Dayak, yakni larinya Datu Sadurung Malan yang tidak
mau diperistrikan oleh kakaknya,
3.
Asal mula
kejadian sungai Barito,
4.
Tempat asal
usul orang Bakumpai, yakni Kampung Bakumpai di Kota Marabahan sebagai ibukota
Kabupaten Barito Kuala, dan
5.
Hubungan
persaudaraan antara Dayak Bakumpai dan Dayak Dusun Biaju.
Kalau
ditanyakan kepada orang Bakumpai, asal-usul nenek moyang mereka dan tempat
asalnya, mereka pada umumnya mengatakan berasal dari Marabahan, tepatnya dari
salah satu kampung di kota Marabahan sekarang ini, yang dulu disebut lebu
Bakumpai ‘kampung Bakumpai’. Ada yang mengatakan bahwa kampung itu ialah
kampung Bagus sekarang ini. Nama Bakumpai ini diabadikan, yang meliputi wilayah
kota Marabahan dan sekitarnya. (Ibrahim, dkk, 1979:2) [6]
B. Silsilah
Dayak Bakumpai[sunting | sunting sumber]
Menurut Tjilik Riwut, Suku Dayak Bakumpai merupakan
suku kekeluargaan yang termasuk golongan suku (kecil) Dayak Ngaju. Suku Dayak
Ngaju merupakan salah satu dari 4 suku kecil bagian dari suku besar (rumpun)
yang juga dinamakan Dayak Ngaju (Ot Danum).
Mungkin adapula yang menamakan rumpun suku
ini dengan nama rumpun Dayak Ot Danum. Penamaan ini juga dapat dipakai, sebab
menurut Tjilik Riwut, suku Dayak Ngaju merupakan keturunan dari Dayak Ot Danum
yang tinggal atau berasal dari hulu sungai-sungai yang terdapat di kawasan ini,
tetapi sudah mengalami perubahan bahasa. Jadi suku Ot Danum merupakan induk
suku, tetapi suku Dayak Ngaju merupakan suku yang dominan di kawasan ini.
Suku Dayak (suku
asal), terbagi suku besar (rumpun):
a.
Dayak Laut
(Iban)
b.
Dayak Darat
c.
Dayak Apo
Kayan / Kenyah-Bahau
d.
Dayak Murut
e.
Dayak Ngaju
/ Ot Danum, terbagi 4 suku kecil:
1)
Dayak
Maanyan
2) Dayak Lawangan
3) Dayak Dusun
4) Dayak Ngaju, terbagi beberapa suku kekeluargaan :
a)
Dayak
Bakumpai
b) dan lain-lain
Perbandingan hubungan suku Bakumpai dengan
suku Dayak Ngaju, seperti hubungan suku Tengger dengan suku Jawa. Suku Dayak
Ngaju merupakan suku induk bagi suku Bakumpai.
C. Populasi
Suku Bangsa Bakumpai
Menurut situs "Joshua Project" Suku
Bakumpai berjumlah 41.000 jiwa. Populasi Suku Bakumpai di Kalimantan Selatan
pada sensus penduduk tahun 2000 oleh Badan Pusat Statistik berjumlah 20.609
jiwa. Di Kalimantan Selatan, suku Bakumpai terbanyak terdapat di kabupaten
Barito Kuala sejumlah 18.892 jiwa (tahun 2000).
Berdasarkan sensus
penduduk tahun 2000 oleh Badan Pusat Statistik (BPS), populasi suku Bakumpai di
Kalimantan Selatan berjumlah 20.609 jiwa, yang terdistribusi pada beberapa
kabupaten dan kota, yaitu :
1.
32 jiwa di
kabupaten Tanah Laut
2.
397 jiwa di
kabupaten Kota Baru (termasuk Tanah Bumbu)
3.
34 jiwa di
kabupaten Banjar
4.
18.892 jiwa
di kabupaten Barito Kuala
5.
12 jiwa di
kabupaten Tapin
6.
3 jiwa di
kabupaten Hulu Sungai Selatan
7.
23 jiwa di
kabupaten Hulu Sungai Tengah
8.
42 jiwa di
kabupaten Hulu Sungai Utara (termasuk Balangan)
9.
41 jiwa di
kabupaten Tabalong
10. 1.048 jiwa di kota Banjarmasin
11. 85 jiwa di kota Banjarbaru
Secara keseluruhan populasi Suku Bakumpai
diperkirakan sebagai berikut :
1.
20.609 jiwa
di Provinsi Kalimantan Selatan (BPS - sensus th. 2000)
2.
135.297 jiwa
di Provinsi Kalimantan Tengah
3.
1.000 jiwa
di Provinsi Kalimantan Timur (Long Iram, Kutai Barat)
D. Agama /
Kepercayaan
Pada masa sekarang, hampir seluruh masyarakat
Dayak Bakumpai beragama Islam sedangkan yang beragama Kristen hampir tidak ada
dan relatif sudah tidak nampak religi suku, seperti pada kebanyakan suku Dayak
(Kaharingan) lainnya. Upacara adat yang berkaitan dengan sisa-sisa kepercayaan
lama, yakni ritual "Badewa" dan "Manyanggar Lebu". Suku
Bakumpai memeluk agama Islam diperkirakan pada akhir Abad ke-16 tepatnya pada
tahun 1688 Masehi. Pengaruh ajaran Islam terlihat hampir di setiap aspek kehidupan
masyarakat Bakumpai, seperti : sistem kemasyarakatan, kekerabatan, gaya hidup,
bahkan dalam unsur kesenian. Daerah Marabahan, merupakan pusat kediaman suku
Bakumpai, yang telah banyak menghasilkan ulama-ulama besar yang menyebarkan
agama Islam sampai ke hulu Sungai Barito.
E. Etimologis
Secara etimologis, bakumpai adalah julukan bagi
suku dayak yang mendiami daerah aliran sungai barito. bakumpai berasal dari
kata ba (dalam bahasa banjar) yang artinya memiliki dan kumpai yang artinya
adalah rumput. Dari julukan ini, dapat dipahami bahwa suku ini mendiami wilayah
yang memiliki banyak rumput. menurut legenda, bahwa asal muasal Suku Dayak
Bakumpai adalah dari Suku Dayak Ngaju yang akhirnya berhijrah ke negeri yang
sekarang disebut dengan negeri Marabahan.
Pada mulanya mereka menganut agama nenek
moyang yaitu kaharingan, hal ini dapat dilihat dari peninggalan budaya yang
sama seperti Suku Dayak lainnya, seperti (Batatenga|bubur bahandang),
mempercayai adanya nilai magis pada beras kuning (Behas Bahenda), mempercayai
bahwa burung elang (burung antang) dapat membawa sebuah berita kematian,
kekuatan rohani/batin disebut dengan istilah (batekang hambaruan), dan adanya
tradisi (tampung tawar).
kemudian, pada
suatu hari mereka menjumpai akan wilayah itu seseorang yang memiliki
kharismatik, yang apabila dia berdiri di suatu tanah, maka tanah itu akan
ditumbuhi rumput. Orang tersebut tidak lain adalah Nabiyullah Khidir as.
Di dalam cerita mereka kemudian masuk agama
Islam dan berkembang biaklah mereka menjadi suatu suku. suku bakumpai adalah
julukan bagi mereka, karena apabila mereka belajar agama di suatu daerah dengan
gurunya khidir, maka tumbuhlah rumput dari daratan tersebut, sehingga kemudian
mereka dikenal dengan suku bangsa bakumpai.
Suku Dayak Bakumpai dahulunya memiliki suatu
kerajaan yang lebih tua dibandingkan dengan kerajaan daerah Banjar, akan tetapi
karena daya magis yang luar biasa akhirnya kerajaan ini berpindah ke Sungai
Barito dan rajanya dikenal dengan nama Datuk Barito.
Dari daerah Marabahan ini kemudian mereka
menyebar ke hulu Sungai Barito.
Dari cerita
rakyat, bahwa ada suatu daerah di Kabupaten Murung Raya yaitu Muara Untu pada
mulanya hanyalah suatu hutan belantara yang dikuasai oleh bangsa Jin bernama
Untu. Kemudian ada dari Suku Bakumpai yang hijrah kesana dan mendiami daerah
tersebut yang bernama Raghuy. sampai sekarang jika ditinjau dari silsilah orang
yang mendiami muara untu, mereka menamakan moyang mereka Raghuy.
Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak_Bakumpai
x
Komentar
Posting Komentar